Jumat, 27 Januari 2017

Kasus Hukum Pajak PT Asian Agri



BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara. Penggunaan uang pajak mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembanguna infrastruktur. Pembangunan untuk sarana umum seperti rumah sakit, jalan raya, jembatan dan berbagai hal yang mencakup kepentingan orang banyak.
Pajak terbesar di Indonesia didapat dari industri pengolahan. Industri pengolahan yang dimaksud ini adalah sektor manufaktur yang bukan migas. Indudtri migas juga menyumbang angka yang besar unuk penerimaan pajak disusul industri makanan, tembakau, pupuk dan kimia. Pajak yang sebagian besar diperoleh dari pengusaha ini terkadang dimanipulasi oleh para oknum pengusaha untuk meminimalisir biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Hal ini lah yang dilakukan oleh PT. Asian Agri Group. Dan dalam hal ini juga didukung oleh aparat penegak hukum dengan menyiasati hukum yang akan dikenakan kepada pihak PT. AAG. Dalam hal ini kami akan membahas kronologis dan sanksi yang dikenakan kepada PT. Asian Agri Group.

                                                                       
BAB 2
RUMUSAN MASALAH
1.      Siapakah Pemilik PT. Asian Agri Grup ?
2.      Bagaimana Kasus Penggelapan PT. Asian Agri Grup diketahui Negara ?
3.      Bagaimana Kronologis kasus Penggelapan PT. Asian Agri Grup?
4.      Modus apakah yang dilakukan oleh PT. Asian Agri Grup ?
5.      Apa sajakah isi putusan Mahkamah Agung kepada PT. Asian Agri Grup
6.      Apakah sanksi yang dikenakan kepada PT. Asian Agri Grup ?


















BAB 3
PEMBAHASAN MASALAH
PT. ASIAN AGRI GROUP
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,  Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.
Asian Agri merupakan salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di Asia dengan kapasitas produksi per tahun mencapi 1 juta ton. Saat ini, Asian Agri mengelola 28 perkebunan minyak kelapa sawit dan 19 pabrik pengilangan minyak kelapa sawit. Perusahaan ini memiliki total area perkebunan kelapa sawit sebesar 160.000 hektar, yang mana 60.000 hektar diantaranya dikembangkan oleh para petani kecil di bawah Plasma/Skema KKPA. Ini adalah salah satu skema kerja sama komunitas paling besar dan paling sukses di Indonesia yang telah membawa keuntungan ekonomi dan transformasi sosial bagi 29.000 keluarga petani plasma yang semuanya berlokasi di Sumatera.
AWAL MULA PENGGELAPAN PAJAK PT. AAG DIKETAHUI NEGARA
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) berusaha mencuri uang perusahaan AAG dengan membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006.
Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura dengan membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 Vincent sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG233 secara terperinci dan membeberkan penyimpangan pajak yang dilakukan PT AAG.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan.Direktur Jendral Pajak Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung.

Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan. Kemudian, penyidik menemukan pelanggaran administrasi sekaligus pelanggaran pidana yang dilakukan Suwir Laut dan lainnya. Dan pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan
Selanjutnya, kasus ini diproses hukum hingga akhirnya MA memutuskan Suwir Laut bersalah dan 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG turut dihukum dengan membayar pajak terhutang  Rp. 1.259.977.695.652 dan hukuman denda 2 kali pajak terhutang, yaitu sebesar Rp 2,5 triliun.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo baik koran maupun majalah dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mestinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower (tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kekurangan yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain, berkaitan dengan kecurangan yang merugikan perusahaan sendiri maupun pihak lain).
Kenyataannya, Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11 tahun penjara pada 3 April 2008 akan tetapi, bebas bersyarat pada 11 januari 2013 karena dinyatakan sebagai justice collaborator (istilah untuk narapidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum, mengungkapkan kejahatan yang lebih besar). Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra – wartawan Tempo disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses secara pidana.









KRONOLOGIS JALINAN KOMUNIKASI ANTARA VINCENT DAN WARTAWAN TEMPO :

2006

24 Nov:
Kontak pertama kali Tempo dengan Vincentius A. Sutanto lewat internet.
Vincent mengaku memiliki dokumen penggelapan pajak Asian Agri. Chatting
juga dilakukan dengan dua media lain, termasuk majalah Trust.

28 Nov-30 Nov:
Tempo ke Singapura menemui Vincent—sebelumnya bertemu dengan wartawan
Trust. Ia sempat berencana bunuh diri dan akan menyerahkan diri ke
polisi Singapura, karena merasa di Indonesia keselamatannya terancam.
Juru Bicara RGM, Tjandra Putra, mengontak saya di Singapura, mengundang
bertemu.

1 Des:
Vincent mulai membeberkan dugaan manipulasi pajak dan suap Asian Agri
kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan harapan ada
perlindungan saksi oleh KPK. Di Jakarta, RGM mengundang wartawan,
menyatakan Vincent buronan Polda (Bisnis Indonesia, 2 Desember 2006).

2 Des:
Vincent mendapat ancaman dari private investigator di Singapura (Mr.
Goh) untuk segera menyerahkan diri.

3 Des:
Vincent kembali ke Jakarta, dijemput oleh KPK untuk melanjutkan
pelaporan indikasi manipulasi dan suap pajak.

11 Des:
Diantar KPK, Vincent menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya (diterima AKBP
Aris Munandar).
2007


Awal Januari
Keluarga Vincent meminta perlindungan Komnas HAM dan Komnas Anak.

15 Jan:
Cover story Tempo soal dugaan manipulasi pajak Asian Agri.

19 Jan:
Tim gabungan Direktorat Jenderal Pajak dan KPK melakukan pemeriksaan di
kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan (diliput media massa). Sebagian
besar dokumen diduga telah dipindahkan.


Pertengahan April:
Vincent dipindahkan ke penjara Salemba. Menerima sejumlah ancaman dan teror.

14 Mei:
Dirjen Pajak Darmin Nasution mengumumkan kepada pers telah menemukan
bukti awal pidana pajak Asian Agri dengan kerugian negara Rp 786 miliar.
Lima direksi ditetapkan sebagai tersangka.

15 Mei:
Tim intelijen dan investigasi Ditjen Pajak mendapatkan 9 truk dokumen
Asian Agri yang disembunyikan di kompleks pertokoan Duta Merlin, Jakarta
Pusat. Vincent mulai diadili, dijerat pasal pencucian uang dengan
tuntutan 12 tahun penjara.

9 Agust:
Vincent divonis 11 tahun penjara, dianggap terbukti melakukan pencucian
uang.

19 Agust:
Kasat II/Fismondev Polda Metro Jaya, Aris Munandar, dikutip Detik.com.
menyatakan meski Vincent sudah divonis, pengusutan diteruskan untuk
mencari otak pembobolan.

27-28 Agust:
Sejumlah media menyebutkan, menurut sumber di Polda, terdapat seorang
pengusaha berinisial E dan wartawan M di balik perbuatan Vincent.
Diberitakan juga M ditunggu kesaksiannya, tapi belum datang.
Berita bahkan menyebut nama Meta Dharma S. Seluruh pemberitaan tanpa
konfirmasi.
Livina Sutanto, adik Vincent, menerima surat panggilan dari Polda untuk
diminta keterangannya sebagai saksi kasus pencucian uang pada 3 September.

29 Agust:
Surat No. Pol/Spgl/3002/VIII/2007/Ditsersekrimsus untuk pemanggilan saya
pada 14 Agustus telah beredar di media massa, berikut print-out SMS
Telkom Flexi.
Aris Munandar semula membantah menandatangani surat panggilan,
belakangan membenarkan. Tapi, kata dia, surat belum dikirim dan tidak
tahu mengapa banyak media sudah mengetahui.

3 Sept:
Surat panggilan Polda No. Spgl/3301/IX/2007/Ditreskrimsus yang
ditandatangani Aris Munandar, dikirimkan ke rumah. Meminta saya sebagai
karyawan swasta memberi keterangan sebagai saksi berkaitan dengan
pelarian Vincent Jakarta-Singapura.

4 Sept:
Berita pemanggilan saya kembali diberitakan sejumlah media.
Sebuah majalah mengutip sumber di Polda, memberitakan seorang pengusaha
dan wartawan di balik pelarian Vincent.
Aris Munandar menyatakan bukti diperoleh dari rekaman komunikasi sang
pengusaha dengan wartawan.

5 Sept:
Direktur Compliance & Risk Management Telkom, Prasetio, dalam suratnya
menyatakan telah menerima permintaan resmi dari Penegak Hukum untuk
mengeluarkan print-out SMS. Namun, kepada Tempo, Polda menyatakan
pemanggilan saya bukan didasarkan pada SMS, tapi chatting dengan Vincent
saat dalam pelarian.
Setiyardi Negara atas nama Forum Keluarga Alumni Tempo menggelar Diskusi
Independensi Media di Era Pers Bebas: Kasus Tempo vs RGM di Gedung
Joeang' 45, Jakarta, dengan pembicara Martin Aleida dan Arsad Abdul Malkan.

5-6 Sept:
Sejumlah media memuat berita diskusi tersebut, tanpa konfirmasi.

7 Sept:
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, kepada Detik.com menyatakan
peliputan kasus Asian Agri telah memenuhi kaidah jurnalistik.
Asian Agri mengeluarkan siaran pers yang ditandatangani oleh Rudy Victor
Sinaga, Corporate Communication Manager Asian Agri mempertanyakan sikap
Tempo dengan mengutip sejumlah pemberitaan media.

Jakarta, 14 September



Metta Dharmasaputra
Wartawan Tempo













PENGGELAPAN PAJAK YANG DILAKUKAN PT ASIAN AGRI GROUP


Penggelapan pajak yang dilakukan PT AAG berupa penggelapan pajak penghasilan (pph) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. Mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar.

Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.

 Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.

Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).

Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan yang tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga tahapan dalam kejahatan pencucian uang :

 Pertama, penempatan (placement) yang dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan ke negara lain.

Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap layering, lihat: Yunus Hussein, 2007).

Ketiga, integrasi (integration) yang merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.

MODUS PENGGELAPAN PAJAK YANG DILAKUKAN PT. ASIAN AGRI GROUP
PT. Asian Agri group menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar yang kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.

Modus operandi yang dilakukan Vincent, yang merupakan otak pelaku kejahatan, adalah dengan mendirikan PT fiktif yang menjadi rekanan PT. AAG dalam menjual produk minyaknya keluar negeri dan membuat rekening fiktifnya. Dia bekerja sama dengan kedua temannya yang dikenalnya ketika mengambil gelas MBA di Amerika, yaitu Hendri Susilo dan AFS yang membuat akta pendirian perusahaan yaitu PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama. Vincent berjanji akan memberikan 10% keuntungan kepada temannya tersebut.

Perusahaan tersebut kemudian membuka rekening di sebuah bank di Indonesia yang digunakan untuk menampung uang hasil kejahatannya. Pada tanggal 13 November 2006, Vincent membuat dua lembar aplikasi pengiriman uang PT Asian Agri Oils and Fats Ltd, yang tersimpan di rekening Fortis  Bank Singapore. Surat itu berisi permintaan agar bank mentransfer USD 1,2 juta ke rekening PT Asian Agri Utama dan USD 1,9 juta ke rekening PT Asia Agri Jaya di Panin Bank. Aplikasi ini dibuat dan ditandatangani Vincent dengan memalsukan tanta tangan dua pejabat tinggi perusahaan di Singapura.

Kemudian pada tanggal 15 November 2006, uang tersebut ditransfer ke rekening Bank Panin milik PT Asian Agri Jaya yang didirikan oleh Hendri. Sehari kemudian perusahaan di Singapura mengecek transfer tadi, ternyata anak perusahaan di Jakarta tidak menerima uang tersebut, yang menerima malah perusahaan lain (yang didirikan Hendri). Kemudian Asian Agri pun melaporkan keganjilan tersebut kepada polisi dan rekening untuk penampung transfer tersebut ketahuan dan diblokir, padahal Vincent baru mengambil Rp. 200 juta.

Asian Agri yang dibantu polisi, sudah keburu mengendus aksinya dan melakukan pengejaran, Vincent lalu melarikan diri ke Singapura. Sebagai salah satu akuntan top di Asian Agri, Vincent memiliki banyak dokumen penting yang hendak dijadikan senjata agar pihak Asian Agri mau mengampuninya dan tidak membawa kasus tersebut ke polisi. Namun, pihak Asian Agri terus mengejarnya, akhirnya Vincent memutuskan untuk menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya dan melaporkan kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri, sehingga pihak Asian Agri pun harus berurusan dengan polisi dan Direktorat Jenderal Pajak.

ULASAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

Putusan Nomor :2239 K/PID.SUS/2012 (679 hal), dengan Terdakwa SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dalam Kasus Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Asian Agri Group)

1. Putusan dijatuhkan atas terdakwa Suwir Laut  dalam jabatannya sebagai Tax Manager dari Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur  yang sudah menjalani penahanan sejak Desember 2010.

2. Terdakwa dinyatakan bertanggung jawab atas pelaporan pajak di beberapa Kantor Pajak dari WP Besar hingga Kisaran. Disebutkan adanya tax planning meeting yang membahas perencanaan untuk mengecilkan pajak. (Catatan: penulis berpendapat hal ini tidak tepat karena tax planning tidak sama dengan tax evasion).

3.  Berikut adalah hal yang dilakukan, berdasarkan dakwaan halaman 4 - 6 mengenai perencanaan guna mengecilkan pembayaran pajak melalui beberapa cara yakni :


A. Rekayasa keuangan internasional disebutkan sebagai berikut, sebagaimana dikutip dibawah ini:
Rekayasa penjualan tersebut dilakukan melalui penjualan ekspor yang pengiriman barangnya langsung ditujukan ke negara pembeli (End Buyer) tetapi dokumen keuangan yang berkaitan dengan transaksi ekspor tersebut (Letter of Credit/LC, Invoice) dibuat seolah-olah dijual kepada perusahaan di Hong Kong (Twin Bonus Edible Oils Ltd., Goods Fortune Oils & Fats Ltd., United Oils & Fats Ltd., atau Ever Resources Oils & Fats Industries Ltd), kemudian dijual lagi ke perusahaan di Macau (Global Advance Oils and Fats) atau British Virgin Island/BVI (Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd.), baru selanjutnya dijuai ke End Buyer. Padahal perusahaan di Hong Kong, Macau maupun di BVI adalah perusahaan paper company atau Special Purpose Vehide (SPV) yang digunakan sebagai fasilitator untuk secara dokumentasi mendukung transaksi tersebut dan sebagai tempat untuk menampung selisih harga jual.

Rekayasa penjualan produk-produk AAG ke luar negeri dengan maksud mengubah harga jual yang seharusnya ke End Buyer diganti dengan harga yang lebih rendah (under invoicing) ke perusahaan-perusahaan tersebut di Hong Kong sehingga keuntungan (profit) menjadi lebih rendah untuk perusahaan di Indonesia. Seluruh pembuatan Invoice penjualan baik untuk perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG maupun perusahaan di Hongkong, Macau dan BVI dilakukan di Medan oleh karyawan AAG. Akibat transaksi penjualan ekspor dengan cara under invoicing tersebut adalah laba yang dilaporkan oleh perusahaan di Indonesia menjadi lebih rendah dari pada yang seharusnya sehingga pajak terutang yang dilaporkan menjadi lebih kecil dari pada yang seharusnya ;

B. Rekayasa keuangan dalam negeri
Penggelembungan biaya lewat biaya Jakarta, biaya hedging dan biaya management fee.  Disebutkan lebih lanjut, dalam halaman  :

BIAYA JAKARTA yaitu melakukan penggelembungan Biaya yang dibuat dengan MEMO VOUCHER di Kantor AAG di Jakarta oleh Terdakwa. Biaya Jakarta ini tidak ada transaksi ekoNomi yang sebenarnya dan hanya untuk menampung pengeluaran uang dari rekening perusahaan yang tergabung dalam AAG secara tunai ke rekening perantara HAREL (Haryanto Wisastra - Eddy Lukas) di Bank Permata Jakarta dan ELDO (Eddy Lukas - Djoko Soetanto Oetomo) di Bank Bumi Putra Jakarta.

BIAYA HEDGING, adalah Biaya fiktif yang dilakukan dengan menciptakan rugi (loss creating) berupa pembebanan Biaya "washout/hedging loss". Mekanismenya dilakukan dengan cara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG seolah-olah membuat kontrak penjualan ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm OH/CPO) ke perusahaan di Hongkong yang penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian, namun sebelum jatuh tempo penyerahan barang dilakukan pembelian kembali (washout) oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam AAG dengan harga yang lebih tinggi. Selisih harga beli kembali dengan harga jual dibebankan sebagai Biaya hedging loss.

BIAYA MANAJEMEN FEE, adalah Biaya fiktif yang dibebankan pada Biaya Umum dan Adminstrasi yang pembebanannya didasarkan hanya pada kontrak semata yang dibuat antar perusahaan dalam satu group baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak ada pelaksanaan atau progress dari jasa manajemen yang diberikan atau tidak ada bentuk penyerahan jasa manajemen dimaksud. Pembebanan yang tidak seharusnya ini merupakan penciptaan Biaya (loss creating) dan hanya upaya memperkecil penghasilan kena pajak

C. Pelaporan keuangan
Laporan Rugi Laba dan Neraca yang diserahkan untuk pelaporan SPT Tahunan bukan laporan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.  Hal ini menimbulkan kerugian yang dijelaskan dalam tabel berisi daftar perhitungan kerugian negara.

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1983 tentang KUP  sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2000 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal 39 ayat (1) UU KUP memberikan sanksi atas kerugian pada pendapatan negara berupa sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Pasal 43 UU KUP menjelaskan bahwa  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

4. Pajak Internasional

 Demikian juga putusan ini mempunyai pertimbangan menarik tentang mengapa sanksi pidana diterapkan dalam kasus ini dan bukan sanksi administrasi, juga dalam hal pembuktian dimana ribuan bukti, tepatnya lebih dari 8000 dokumen, dijadikan dasar pembuktian dalam kasus ini.  

Ada beberapa hal menarik berhubungan dengan transaksi internasional yang berhubungan dengan pajak internasional dan dianggap sebagai pendukung penggelapan pajak seperti berikut:

-Dalam putusan tidak dijelaskan secara rinci apakah perusahaan di luar negeri seperti perusahaan di Hong Kong, yakni Twin Bonus Edible Oils Ltd atau Goods Fortune Oils & Fats Ltd merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.  Begitu juga dengan perusahaan di Macau yakni Global Advance Oils and Fats serta perusahaan di British Virgin Island yakni  Asian Agri Abadi Oils and Fats Ltd tidak dijelaskan apakah mereka merupakan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa sesuai Pasal 18(2) Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan meskipun dari perusahaan yang disebut terakhir dapat diperkirakan merupakan perusahaan terkait karena nama Asian Agri.  

Dalam dakwaan disebutkan bahwa perusahaan tersebut merupakan SPV dan melakukan under invoicing.

-Jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkait apakah hal sebaiknya peraturan yang diterapkan seharusnya merupakan peraturan transfer pricing sebagaimana diatur misalnya dengan Per DJP No. PER - 32/PJ/2011 tentang  penerapan Arm's Length Principle dalam related party transaction? Perlu ada pembedaan antara transfer pricing dan tax evasion yang sepertinya perlu peraturan lebih lanjut melihat putusan seperti ini.

-Tidak ada penjelasan hedging loss apakah hal ini sudah sesuai dengan standar akuntansi atau merupakan satu financial engineering yang merupakan satu penggelapan pajak.  Penentuan harga dalam hedging juga perlu disoroti karena harga acuan apa yang dipakai dalam ekspor komoditas.  Sebagai contoh, Surat Edaran DJP No. 50/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing menjelaskan penggunaan pembanding eksternal dalam hal harga pasar produk komoditas oleh pihak independen.  Dalam fakta hukum yang diungkap, halaman 468, dijelaskan bahwa  yang  telah terjadi adalah hedging fiktif.

-Management fee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan menurut Surat Edaran DJP tahun 1984 adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam melaksanakan manajemen dengan mendapatkan balas jasa berupa imbalan manajemen ("management fee"). Umumnya hal ini menjadi bagian dari pemeriksaan transfer pricing karena biasanya merupakan related party transaction.

Dalam dokumen yang menjadi bukti, didapati adanya bukti management fee termasuk management fee agreement termasuk bukti pembayarannya (contoh, dokumen nomor 6962 halaman 198).  Tidak dijelaskan secara rinci apakah ini merupakan bagian transaksi dengan hubungan istimewa.







ANALISIS KASUS DAN PENERAPAN PASAL

a.       Modus Terdakwa
Modus yang dilakukan PT AAG adalah Cara dengan menghindari pembayaran pajak melalui pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya. dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.

b.      Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
Dihubungkan dengan TPPU, dapat diuraikan dugaan TPPU sbb:

1.    Pemilik Asian Agri (ST)
Alternatif yang dapat didakwakan:
·         hanya diproses dakwaan penggelapan pajak dan pemalsuan surat jo penyertaan KUHP;
·         -diproses secara kumulatif pemalsuan surat serta TPPU, tapi mengingat penggelapan pajak sedang di sidik oleh PPNS, maka tidak mungkin digabung. Karena TPPU disidik penyidik polri.

 Unsur-unsur Pasal 3 ayat (1) UU TPPU sebagai berikut :

1.      Setiap orang, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Karena dinyatakan dengan kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal ini, lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan masalah global.

2.      Dengan sengaja, ini berarti orang yang disangkakan melakukan Tindak Pidana Pencucian uang tersebut harus dibuktikan sifat sengajanya, apakah sebagai bentuk kesengajaan sebagai kehendak, atau perbuatannya itu memang dikehendaki, ataukah hanya karena bentuk pengeahuan, artinya adanya pengetahuannya akan dampak dari perbuatannya.

3.      Menempatkan; mentransfer; membayarkan atau membelanjakan;  menghibahkan atau menyumbangkan; menitipkan; membawa keluar negeri; menukarkan atau perbuatan lainnya,  yang adalah masing-masing perbuatan merupakan suatu alternative yang cukup dibuktikan salah satunya saja, kecuali seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus, maka kesemuanya harus dituangkan dalam berkas perkara, seperti :

·                             Menempatkan kedalam jasa keuangan, artinya perbuatan memasukkan uang tunai kedalam penyedia jasa keuangan, seperti menabung, membuka giro atau deposito (sipelaku /predicat crime menyimpan sendiri hartanya).
·                             Mentransfer, artinya perbuatan pemindahan uang dari penyedia jasa keuangan satu ke penyedia jasa keuangan lain (pelaku/ predicat crime memindahkan harta kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana itu kepada pihak lain dengan menggunakan sarana perbankan).
·                             Membayarkan atau membelanjakan, artinya penyerahan sejumlah uang atas pembelian sesuatu benda kepada seseorang atau pihak lain. (pelaku menggunakan uang hasil tindak pidananya itu untuk membayar atau berbelanja, seperti membeli tanah, perusahaan dsb).
·                             Menghibahkan atau menyumbangkan, artinya perbuatan hukum   mengalihkan kebendaan secara cuma-cuma, termasuk pengertian hibah dalam hukum perdata kepada   pihak lain maupun keluarganya.
·                             Menitipkan, artinya uang hasil kejahatannya disimpan kepada seseorang, baik secara phisik, maupun menggunakan sarana perbankan milik temannya itu sebagaimana ketentuan hukum perdata.
·                             Membawa ke luar negeri, artinya kegiatan membawa secara phisik atas kekayaannya, baik dalam bentuk uang maupun benda lainnya tersebut dengan melewati batas wilayah Negara Republik Indonesia.
·                             Menukarkan, artinya perbuatan penukaran mata uang ke mata uang asing (Valas) ataupun dari surat berharga yang satu kepada surat berharga lainnya, termasuk penukaran benda lainnya.
·                             Perbuatan lainnya adalah perbuatan-perbuatan diluar yang telah disebutkan diatas, seperti Over booking, yaitu pemindah bukuan dari rekening satu kepada rekening lainnya dalam satu bank, sehingga tidak termasuk transfer) dll.

4.      Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, maksudnya orang tersebut dengan penilaiannya dia dapat mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

Ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, artinya bukan saja lembaga perbankan dan asuransi, tetapi juga penyedia jasa keuangan lainnya sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1 ke 5 UU TPPU yang menyebutkan penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kostodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.

Baik atas nama sendiri atau orang lain, artinya sekalipun diatas namakan rang lain sipelaku tetap saja tidak dapat dibebaskan dari perbuatan pencucian uang.

Dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana

2.          Pasal 6 UU TPPU dikenakan terhadap keluarga ST dan/atau rekannya:

Pasal 6 ayat (1) TPPU menyatakan : “Setiap orang yang menerima atau menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,-(lima belas milyar rupiah)”.

Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Digunakannya kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal ini, lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan masalah global . Menerima atau menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan, dapat dijelaskan sebagai berikut :
·         Menerima atau menguasai penempatan harta kekayaan, berarti sifat perbuatannya sebagai penampung uang tunai bahkan hanya menguasai atau berada dalam kekuasaannya harta kekayaan ke dalam system perbankannya, tanpa diperlukan suatu pembuktian siapa pemilik dari harta kekayaan tersebut.
·         Menerima atau menguasai pentransferan harta kekayaan, artinya seperti point 2 diatas, tetapi melalui transaksi perbankan, bukan uang tunai.
·         Menerima atau menguasai pembayaran harta kekayaan,merupakan perluasan ancaman kepada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk dalam konteks tindakan yang legal atau syah, sehingga dibutuhkan suatu itikad baik dari penjual untuk membantu pemberantasan kejahatan money laundering di Indonesia.
·         Menerima atau menguasai hibah harta kekayaan, identik dengan point b diatas, tetapi dikhususkan untuk tindakan pemberian.
·         Menerima atau menguasai sumbangan harta kekayaan, sama dengan poin c untuk yang bersifat sukarela sekalipun
·         Menerima atau menguasai penitipan atau penukaran harta kekayaan, dalam hal ini menunjukkan betapa sangat luas jangkauan larangan termasuk juga hanya untuk tindakan penitipan yang berarti tanpa sifat kepemilikan sama sekali.

2)      Yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, maksudnya,orang tersebut dengan penilaiannya dapat mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.





SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PT. ASIAN AGRI GROUP

Menurut UU pajak sanksi dibagi menjadi dua yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi adalah sanksi berupa denda, bunga, dan sanksi kenaikan. Sanksi pidana adalah sanksi berupa kurungan dan penjara.

Mahkamah Agung (MA) menghukum Asian Agri, perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Sukanto Tanoto bayar denda Rp 2,5 triliun atas kasus penggelapan pajak. Putusan perkara penggelapan pajak diputuskan sebagai corporate liability (pertanggungjawaban kolektive) yaitu Fucarious Liability (Perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan pidana karyawannya).

Penggelapan yang dilakukan PT Asian Agri Group dan 14 perusahaan yang tergabung adalah :
1.      PT. Dasa Anugrah Sejati
2.      PT. Raja Garuda Mas Sejati
3.      PT. Saudara Sejati Luhur
4.      PT. Indo Sepadan Jaya
5.      PT. Nusa Pusaka Kencana
6.      PT. Andalas Intiagro Lestari
7.      PT. Tunggal Yunus Estate
8.      PT. Rigunas Agri Utama
9.      PT. Rantau Sinar Karsa
10.  PT. Sispra Matra Abadi
11.  PT. Mitra Unggul Pusaka
12.  PT. Hari Sawit Jaya
13.  PT. Inti Indosawit Subur
14.  PT. Gunung Melayu

PT asian agri group dikenai sanksi pidana oleh MA berupa denda pajak sebesar 2,5 triliun dalam kasus penggelapan pajak dengan terdakwa Manager pajak Asian agri berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) No 2239.K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012 yaitu suwir laut yang divonis 2 tahun dengan masa percobaan 3 tahun karena memasukkan data pajak yang tidak sebenarnya (self assesment) melanggar prinsip hukum pajak yaitu memenuhi kewajiban membayar pajak dengan melaporkan secara jujur sendiri kewajiban hutang pajaknya (terdakwa mengisi data palsu kewajiban perusahaan). Sehingga berturut-turut selama 4 tahun sejumlah 16 perusahaan tidak/kurang membayar kewajiban pajak yg sebenarnya.

Sebelumnya, kasus penggelapan pajak perkebunan kelapa sawit milik Tanoto Sukanto ini dibongkar oleh Mantan Group Financial Controller Asian Agri, Vincentius Amin Sutanto

Akibat kasus penggelapn pajak ini, Negara dirugikan senilai Rp. 1.259.977.695.652,- (satu trilyun dua ratus lima puluh Sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta enam ratus sembilan puluh lima ribu enam ratus lima puluh dua rupiah). Dan perusahaan yang bergabung dengan AAG group harus membayar senilai 2 x  Rp 1.259.977.695.652 = 2.519.955.391.304.

Sedangkan Direktorat jenderal Pajak akan menagih kekurangan pajak sebesar RP. 1,25 triliun selama 2002 - 2005 dengan dendanya sebesar 1,9 triliun. Adapun rincian tagihan pajak terhadap tunggakan pajak asain agri adalah :
Pokok pajak RP. 1,295 triliun
Sanksi pajak Rp. 653,4 miliar 
Total 1,913 triliun.
     
PT Asian agri Group sempat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak namun, menurut Dirjen Pajak Fuad Rahmany setelah dalam proses hukum selama 6 tahun, MA memutuskan Asian Agri kalah, dan harus membayar dendanya sebesar Rp 2,5 triliun atau 200% dari pokok tunggakan pajaknya.




PEMBAYARAN DENDA PAJAK PT. ASIAN AGRI GROUP

Pada akhir Januari 2014, kejaksaan dan AAG sepakat membayar terlebih dahulu sebesar Rp719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan. Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Mandiri dan tiap bulan dapat di cairkan. Datas Ginting juga menjelaskan, pihak Kejaksaan sebagai eksekutor ketika itu sepakat memberikan kesempatan pada AAG untuk melakukan pembayaran dengan sistem mencicil karena lembaga kejaksaan juga harus mempertimbangkan aspek mendasar dari hukum itu sendiri yakni keadilan.

Pembayaran sisa denda sebesar dua kali pajak terhutang ini dilakukan lebih cepat dari kebijakan waktu yang diberikan oleh Jaksa Eksekutor. PT Asian Agri Group perusahaan milik Sukanto Tanoto ini melunasi secara total cicilan  pada 17 september 2004.

Sedangkan untuk kekurangan pajak dan sanksinya  PT. Asian agri Group masih mengajukan banding.Dan dua anak usaha Asian Agri Group yaitu PT Rigunas Agri Utama dan PT Raja Garuda Mas Sejati telah diberikan penolakan banding oleh Pengadilan Pajak. Dua hakim telah menolak banding yang diajukan oleh kedua anak usaha Asian Agri, namun, salah seorang dari tiga hakim yang mengadili banding tersebut menyatakan disssenting opinion. Alasan penolakan dari kedua hakim adalah mereka tidak memiliki kewenangan memproses banding tersebut.
Satu Hakim Anggota itu adalah Djangkung Sudjarwadi. Djangkung menjelaskan, permohonan banding telah memenuhi ketentuan pasal 27 UU No 6 tahun 1983 tentang KUP, sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No 28 2007.  “Surat banding memenuhi peryaratan umum formal sehingga dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan materi,” kata Djangkung.
Sementara itu, Guru Besar Perpajakan Universitas Indonesia (UI), Prof Gunadi, mengatakan, tujuan hukum pajak adalah bukan untuk mempidana orang, tetapi lebih pada upaya untuk mengumpulkan uang untuk mengisi pundi-pundi APBN dari sektor pajak yang akan digunakan untuk pembangunan. “Tujuan hukum pajak juga bukan semata-mata untuk kepastian hukum saja, tapi juga untuk memenuhi rasa keadilan,” kata Gunadi.

 Sehingga dari penolakan banding yang diajukan 2 perusahaan tersebut Direktrorat Jenderal Pajak masih akan menghadapi 12 anak usaha dari Asian Agri Group.



Sumber referensi : https://goodmaterialku.blogspot.co.id/2016/06/analisa-kasus-pajak-pt-asian-agri-group.html
https://fenipangestu.wordpress.com/2014/11/07/drama-panjang-kasus-penyelewengan-pajak-asian-agri-group/