“Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan jika engkau ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.” Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah SAW kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika bertemu pertama kali di Mekah. Mengenai pilihan itu, apakah beliau tergolong Muhajirin atau Anshar ada kisah tersendiri bagi Hudzaifah.
Al-Yaman, ayah Hudzaifah, adalah orang Mekah dari
Bani Abbas. Karena sebuah utang darah dalam kaumnya, dia terpaksa
menyingkir dari Mekah ke Yastrib (Madinah). Di sana dia meminta
perlindungan kepada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia pada mereka
untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani Abd Asyhal. Ia kemudian
menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu,
lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka, hilanglah halangan yang menghambat
Al-Yaman untuk memasuki kota Mekah. Sejak itu dia bebas pulang pergi
antara Mekah dan Madinah. Meski demikian, dia lebih banyak tinggal dan
menetap di Madinah.
Ketika Islam memancarkan cahayanya ke seluruh
Jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang dari sepuluh orang Bani
Abbas yang berkeinginan menemui Rasulullah SAW dan menyatakan
keislamannya. Ini semua terjadi sebelum Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab,
yaitu garis keturunan bapak (patriach), maka Hudzaifah adalah orang
Mekah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.
Hudzaifah Ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim,
dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah
memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Karena itu, Hudzaifah
telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah SAW.
Kerinduan Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah
SAW memenuhi setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa
menunggu-nunggu berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan
ciri-ciri beliau. Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin
bertambah cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah.
Pada suatu hari dia berangkat ke Mekah sengaja
hendak menemui Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada
beliau, “Apakah saya ini seorang Muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”
Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut Muhajir engkau memang
seorang muhajir dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang
orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.” Hudzaifah menjawab,
“Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!” Setelah Rasulullah hijrah ke
Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih.
Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya,
kecuali dalam Perang Badar. Mengapa dia tidak ikut dalam Perang Badar?
Soal ini pernah diceritakan oleh Hudzaifah. Ia berkata, “Yang
menghalangiku untuk turut berperang dalam peperangan Badar karena saat
itu aku dan bapakku sedang pergi keluar Madinah. Dalam perjalanan
pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir Quraisy seraya bertanya, “Hendak
ke mana kalian?” Mereka menjawab, “Ke Madinah!” Mereka bertanya,
“Kalian hendak menemui Muhammad?”
“Kami hendak pulang ke rumah kami di Madinah,” jawab kami.
Mereka tidak bersedia membebaskan kami, kecuali
dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak
akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya. Setelah
bertemu dengan Rasulullah SAW, kami menceritakan kepada beliau
peristiwa tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian
dengan mereka. Lalu, kami bertanya kepada beliau tentang apa yang harus
kami lakukan. Rasulullah menjawab, “Batalkan perjanjian itu, dan
marilah kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”
Dalam Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum
kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah
mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya
syahid oleh pedang kaum muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin.
Berikut kisahnya, pada hari terjadinya Perang Uhud,
Rasulullah SAW menugaskan Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin
Waqsy mengawal benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena
keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk
dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya, “Bagaimana pendapatmu,
apalagi yang harus kita tunggu. Umur kita tinggal seperti lamanya kita
menunggu keledai minum dengan puas. Kita mungkin saja mati hari ini
atau besok. Apakah tidak lebih baik bila kita ambil pedang, lalu
menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah. Mudah-mudahan
Allah memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama dengan
nabi-Nya.” Keduanya lalu mengambil pedangnya dan terjun ke medan
pertempuran.
Tsabit bin Waqsy memperoleh kemuliaan di sisi Allah.
Dia syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi, Al-Yaman menjadi sasaran
pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya.
Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku …! Itu bapakku …!” Tetapi sayang,
tidak seorang pun yang mendengar teriakannya, sehingga bapaknya jatuh
tersungkur oleh pedang teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata
apa-apa, kecuali hanya berdoa kepada Allah, “Semoga Allah Taala
mengampuni kalian, Dia Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”
Rasulullah memutuskan untuk membayar tebusan darah
(diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Hudzaifah berkata,
“Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini
telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku
menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”
Maka, dengan pernyataannya itu, penghargaan
Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam. Rasulullah
SAW menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga
keistimewaan yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat
meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap,
berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap
diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan berdisplin tinggi,
sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.
Sudah menjadi salah satu kebijaksanaan Rasulullah,
berusaha menyingkap keistimewaan para sahabatnya dan menyalurkannya
sesuai dengan bakat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi
masing-masing mereka. Yakni, menempatkan seseorang pada tempat yang
selaras. Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah
ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu
membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang selalu dilancarkan mereka
terhadap Rasulullah dan para sahabat. Untuk menghadapi kesulitan ini,
Rasulullah mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah
Ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya.
Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga
sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja.
Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan
Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk
mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para
sahabat dengan Shaahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).
Suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah
melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan
keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah, beliau
memilih orang yang cerdas, tanggap, dan berdisiplin tinggi. Peristiwa
itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama
dikepung rapat oleh musuh, sehingga mereka merasakan ujian yang berat,
menahan penderitaan yang hampir tidak tertangguhkan, serta
kesulitan-kesulitan yang tidak teratasi. Semakin hari situasi semakin
gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah. Bahkan, menjadikan
sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah
SWT.
Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami
ujian berat dan menentukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri
dari orang-orang musyrik tidak lebih baik keadaannya daripada yang
dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, Allah menimpakan bencana
kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan
yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka,
membalikkan periuk, kuali, dan belanga, memadamkan api, menyiramkan
muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan
tanah.
Pada situasi genting dalam sejarah setiap
peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak
yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya.
Dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya
mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam
mengambil putusan melalui musyawarah.
Ketika itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan
Hudzaifah Ibnul Yaman untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti.
Maka, beliau memutuskan untuk mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan
musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan
dia bercerita, bagaimana dia melaksanakan tugas maut tersebut.
Hudzaifah berkata, “Malam itu kami (tentara
muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum
musyrikin Mekah mengepung kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani
Quraizhah berada di sebelah bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan
mereka terhadap para wanita dan anak-anak kami. Malam sangat gelap.
Belum pernah kami alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak
dapat melihat anak jari sendiri. Angin bertiup sangat kencang, sehingga
desirannya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah
iman, dan orang-orang munafik minta izin pulang kepada Rasulullah,
dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal, sebenarnya rumah
mereka terkunci.
Setiap orang yang minta izin pulang diberi izin oleh
Rasulullah, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Semuanya
keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan
hanya tinggal 300 orang.
Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu
per satu. Setelah beliau sampai di dekatku, aku sedang meringkuk
kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang
menusuk-nusuk, selain sehelai sarung butut kepunyaan istriku, yang
hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang sedang
menggigil, seraya bertanya, “siapa ini!” “Hudzaifah!” jawabku.
“Hudzaifah!” tanya Rasulullah minta kepastian. “Aku merapat ke tanah,
sulit berdiri karena sangat lapar dan dingin.” “Betul, ya Rasulullah!”
jawabku. “Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke
sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti,
dan laporkan kepadaku segera …!” kata beliau memerintah. Aku bangun
dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah
berdoa, “Wahai Allah! lindungilah dia, dari hadapan, dari belakang,
kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”
Demi Allah! Sesudah Rasulullah SAW selesai berdoa,
ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang
menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan
perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau
memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! sekali-kali jangan melakukan
tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali
kepadaku!” Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!” Lalu, aku pergi dengan
sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang
hitam kelam. Aku berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan
berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka. Belum lama aku berada
di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi
komando. Ia berkata, “Hai, pasukan Quraisy! dengarkan aku berbicara
kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini
jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih
dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”
Mendengar ucapan Abu Sufyan, aku segera memegang tangan orang yang di
sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?” Jawabnya, “Aku si Anu, anak si
Anu!”
Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan
bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy! demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak
dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita
telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita.
Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena
itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini.
Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.” Selesai berkata demikian, Abu
Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu
dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung
berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu
tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh
telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.
Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah.
Kudapati beliau sedang salat di tikar kulit, milik salah seorang
istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan
diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu, kulaporkan
kepada beliau segala kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat
senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah
SWT.
Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh
memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya,
sampai kepada seorang khalifah sekalipun yang mencoba mengorek rahasia
tetap ia tidak mau membocorkannya. Sampai-sampai khalifah Umar bin
Khathtab r.a. ada orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah
Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu ?” Jika mereka menjawab,
“Ada,” beliau turut menyalatkannya.
Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada
Hudzaifah dengan cerdik,”Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang
munafik?” Jawab Hudzaifah,”Ada seorang!” “Tolong tunjukkan kepadaku
siapa?” kata Umar. Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang
Rasulullah mengatakannya.” “Seandainya kautunjukkan, tentu Khalifah
akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah
bercerita. Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahui bahwa
Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand,
Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi
kaum muslimin dari genggaman kekuasaan Persia yang menuhankan berhala.
Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushhaf
Alquran, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum
muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat takut kepada Allah,
dan sangat takut akan siksanya.
Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba,
beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam.
Hudzaifah bertanya kepada mereka,”Pukul berapa sekarang?” Mereka
menjawab, “Sudah dekat Subuh.” Hudzaifah berkata, “Aku berlindung
kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.” Ia bertanya
kembali, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?” Mereka menjawab, “Ada.”
Hudzaifah berkata, “Tidak perlu kafan yang mahal.
Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku
dengan kafan yang lebih baik. Dan, jika aku tidak baik dalam pandangan
Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.” Sesudah itu dia
berdoa kepada Allah, “Wahai Allah! sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih
suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku
lebih suka mati daripada hidup.” Sesudah berdoa rohnya berangkat.
Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Sumber : Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah – Abdulrahman Ra’fat Basya)[agus-haris.net]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar